Gender Sebagai Perspektif


GENDER SEBAGAI PERSPEKTIF
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Gender Sosial Inklusi”




Dosen Pengampu :
Dr. Evi Muafiah, M.Ag.



Disusun oleh :
Vida Laily H               (210615001)





FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
MARET  2018





  BAB I
  PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
     pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan maupun posisi dan status perempuan dalam kesetaraan dengan kaum pria. Pada satu sisi hubungan gender menjadi suat persoalan tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi kaum perempuan masih belum mendapat tempat yang sepenuhnya bias diterima. Secara konsep emansipasi telah diterima akan tetapi konsekuensi dari pelaksanaan emansipasi itu sendiri masih belum seideal yang diharapkan. kaum perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapimereka diikat dengan norma patriarkhi yang relatif menghambat dan memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan catatan hanya sebagai penambah pencari nafkah keluarga sehingga mereka bekerja dianggap hanya sebagai “working for lipstic” belum lagi kewajiban utama mengasuh anak dibebankan sepenuhnya kepada perempuan. Secara kenyataan saja emansipasi masih menemukan persoalan tersendiri, apalagi gender yang merupakan konsepsi yang sangat mengharapkan kesetaraan hubungan yang serasi dan harmonis antara kaum perempuan dengan kaum pria. Dalam hal ini tentu saja sebelum gender itu diterima sebagai suatu konsep yang memasyarakat terlebih dahulu haruslah dipahami permasalahan emansipasi dan kesetaraan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam memperoleh pendidikan maupun dalam lingkungan dunia kerja

B.     Rumuusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan konsep gender ?
2.      Bagaimana ketidakadilan gender ?
3.      Bagaimana gender dalam pendidikan ?

C.    Tujuan
1.      Untuk  mengetahui konsep  gender
2.      Untuk  mengetahui ketidakadilan  gender
3.      Untuk mengetahui gender dalam pendidikan




BAB II
PEMBAHASAN

 


A.    Konsep Gender
Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki – laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Laki – laki tidak dapat menstruasi,  tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tida berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.
Konsep gender adalah Sifat yang melekat pada kaum laki –laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor  sosial[1] maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki – laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki  -  laki  dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah, lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki – laki dan perempuan.  Perbedaan fungsi dan peran antara laki – laki dan perempuan  itu tidak ditentukan karena antara keduannya terdapat perbedaan biologis tau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah – pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing- masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Dengan melihat perbedaan yang jelas  antara laki dan perempuan, maka dapat dikatakan perbedaan itu terjadi secara kodrati. Laki – laki dikodratkan memiliki alat kelamin yang sifatnya  memberi dan perempuan memiliki alat reproduksi yang sifatnya menerima, dengan alat reproduksinya perempuan dapat hamil, melahirkan, menyusui. Fungsi kodrati ini tidak dapat ditukarkan dengan laki – laki. perbedaan secara kodrati inilah yang secara turun temurun  menjadikan perempuan memiiki kedudukan dan peran yang  berbeda dengan laki – laki. Perbedaan secara kodrati inilah yang secara turun temurun menjadikan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki – laki.[2]



B.     Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan menjadi korban dari sistem itu. Guna memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan gender tersebut dapat dipahami  melaui berbagai manifesasi ketidakadilan tersebut.

1.    Gender dan marginalisasi perempuan
     Bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah proses   marginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuann. Marginalisaasi atau  disebut juga pemiskinan ekonomi. Ada beberapa mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan  karena perbedaan gender. Dari segi sumbernya bisa berasal  dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
          Marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender  adalah adanya program dibidang pertanian misanya : revolusi hijau yang memfokuskan pada petani laki—laki mengakibatkan banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin.

2.    Gender dan  subordinasi pekerjaan perempuan
                Subordinasi adalah anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor – faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Hal ini  disebabkan karena belum terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi perempuan.[3] Anggapan sementara perempuan itu  irasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentkkan dengan jenis – jenis pekerjaan tertentu. Diskriminasi yang diderita oleh kau perempuan pada sektor prosenrtase jumlah pekerja perempuan, pegajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak – hak perempuan  yang berkaitan dengan kodratnya yang belum terpenuhi. Agar perempuan  tidak tersubordinasi lagi, maka  perempuan harus mengajar berbagai ketertiggalan dari lelaki untuk meningkatkan kemampuan keedudukan, peranan, kesepatan, dan kemandiriaan, serta ketahanan mental spiritualnya. Dengan demikian perempuan mampu berperan  bersama – sama  laki – laki sebagai mitra seajajar yang selaras, serasi, seimbang yang ditujukan dalam kehidupan nyata seehari – hari.

3.    Gender dan streotipi atas pekerjaan perempuan
 Stereotipi adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotipi adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum sereotipi merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasannya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan[4] negatip. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki – laki adalah manusia yang kuat, rasional,  jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional atau keibuan.
          Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotip yang oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan lelaki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan pekerjaan – pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja  di luar rumah sangat terbaatas, bahkan ada juga yang berpendidikan namun tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisikan diri. Akibt adanya stereotipi (pelabelan) ini banyak tindakan – tindakan yang seolah – seolah sudah merupakan kodrat. Misalnya: karena secara sosial budaya laki- laki dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat, maka laki – laki mulai kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi kuat. Dan perempuan yang sudah terlanjur mempunyai label lemah lembut, maka perlakukan orang tua mendidik anak seolah – olah memang mengarahkan untuk terbentuknya perempuan yang lemah lembut.

4.    Gender dan kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan ( violence ) adalah suatu serangan (assault ) terhadap fisik maupun intgritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia ini sumbernya macam – macam, namun ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan ini disebut sebagai “ gender – related violence “, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai ditingkat negara, bahkan tafsiran agama.[5]
Jika diperhatikan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan kekerasan yang disebabkan adanya keyakinan jender. Bentuk kekerasan ini  tidak selalu terjadi antara laki – laki terhadap perempuan akan tetapi antara perempun dengan perempuan atau bahkan antara perempuan dan laki – laki.                    F x   s q                                                                                                                                                                          Meskipun demikian perempuan menjadi lebih rentan karena posisinya yang pincang di mata masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Posisi perempuan pada umumnya dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki –laki.
Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki – laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki – laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki – laki bekuasa ataas perempuan. Paada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat.

5.    Gender dan beban kerja lebih berat
Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah” peranannya yang “lama” yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran reproduktif). Maka dari itu perkembangan peranan perempuaan ini sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan perkembangan. Untuk itulah maka beban kerja perempuan terkesan berlebihan.
Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat[6] memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua  pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sehingga perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah. Bagi golongan kelas kaya, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga ( domestic workers). Mereka inilah yangg sesungguhnya menjadi koban dari bias gender di masyarakat. Mereka bekerja berat, tanpa perlindungan dan kebijakan negara. Selain tanpa perlindungan hubungan mereka bersifat feodalistik dan perbudakan, serta masalahnya belum bisa secara transparan dilihat oleh masyarakat luas.[7]

C.    Gender dalam pendidikan
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran tetapi merupakan salah satu “ nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu tersebut. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secaraa formal termasuk di sekolah.[8]
Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu :
1.       akses (fasillitas pendidikan yang sulit dicapai)
2.      Partisipasi ( tercakup dalam bidang studi dan statistik pendidikkan, banyaknya perempuan mengambil bidang keguruan (SPG misalnya) karena pandangan yang mengatakan bahwa  peran guru sebagai pembina juga pengasuh digambarkan sbagai kodrat peempu7an sebagai ibu) , krenanya 99% SPG ddiminati perempuan (menjadi guru SLTP), STM 99,5% laki – laki ) guru TK sebagian besar juga perempuan hal ini dipeengaruhi Stereotipe gender
3.      Manfaat dan peenguasaan (banyaknya buta huruf dialami oleh perempun)

Gender dapat diliihat dalam buku bacaan wajib di sekolah, yang sebagian besar mentranfer nilai atau norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat. Artinya sistem nilai gender akan berpengaruh pada kehidupan sistem sosial di sekolah sebagai contoh adalah dalam buku ajar telah dikonstruksi peran gender perempuan dan laki -  laki secara segrerasi, ayah / laki – laki digambarkan bekerja di kantor dikebun, dan sejenisnya (sektor publik), sementara perempuan / ibu digambarkan di dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya (domestik).[9]
Di samping itu perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah interaksi guru – guru, guru murid, dan murid – murid, baik di dalam maupun luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan kontruksi gender. Dari hal tersebut  laki – laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi  kelompok, ataupun dalam pemberian kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat.
Pemerintah secara terus menerus menyuarakan pengarusutamaan gender seperti yang diamanatkan oleh UU 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “ setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Artinya setiap warga negara berarti laki – laki dan prempuan bukan laki – laki saja yang selama ini diprioritaskan oleh[10] keluarga untuk melanjutkan pendidkan lebih tinggi dibandingkan perempuan. Akibatnya apabila perempuan bekerja mendapat upah lebih rendah dari laki – laki. Menurut idris  semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesejangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki – laki adalah 60,46% dan 39, 32% dimana kesenjangan dalam gender dalam pengupahan untuk pendidikan rendah 65,68% untuk laki – laki dan 35,32% untuk perempuan.
Budaya bias laki – laki / partiarkhi membentuk perempuan cenderung nrimo, karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan tentang kesetaraan dan keadilan gender menjadi semakin mendesak, akses perempuan dan laki – laki harus mendapat kesempatan yang sama.[11]




BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
              Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Konsep gender adalah Sifat yang melekat pada kaum laki –laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor  sosial  maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki – laki dan perempuan. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan menjadi korban dari sistem itu. Guna memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan gender tersebut dapat dipahami  melaui berbagai manifesasi ketidakadilan tersebut 1) Gender dan marginalisasi perempuan 2) Gender dan  subordinasi pekerjaan perempuan 3) Gender dan streotipi atas pekerjaan perempuan 4) Gender dan kekerasan terhadap perempuan 5) Gender dan beban kerja lebih berat. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu, 1) akses (fasillitas pendidikan yang sulit dicapai) 2) Partisipasi ( tercakup dalam bidang studi dan statistik pendidikkan, banyaknya perempuan mengambil bidang keguruan (SPG misalnya) karena pandangan yang mengatakan bahwa  peran guru sebagai pembina juga pengasuh digambarkan sbagai kodrat peempu7an sebagai ibu) , krenanya 99% SPG ddiminati perempuan (menjadi guru SLTP), STM 99,5% laki – laki ) guru TK sebagian besar juga perempuan hal ini dipeengaruhi Stereotipe gender 3) Manfaat dan peenguasaan (banyaknya buta huruf dialami oleh perempun)


B.     Saran
            Kami menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu bagi teman – teman yang ingin lebih memahami tentang “ gender sebagaiii perspektif “ kami sarankan untuk mencari sumber – umber lain sebagai tambahan






                                       DAFTAR PUSTAKA


[1] Trisakti Handayani, dkk, konsep dan teknik penelitian gender, (Malang: Universitas Muhammadiyah   Malang, 2002) hlm. 5
[2] Ibid., 6
[3] Ibid., 16
[4] Ibid., 17
[5] Ibid., 18
[6] Ibid., 19
[7] Ibid., 20
[8] Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, ( Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009). Hal 53


[9] Ibid., 54
[10] Ibid., 55
[11] Ibid., 56

Komentar